Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan sterilberupa larutan,
emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke
dalam kulit atau melalui kulit ataumelalui selaput lendir.(FI.III.1979), Sedangkan
menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam
wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa
diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang
dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.(FI.IV.1995)
Sediaan steril
injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah salah satu
bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki
kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran
tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan
atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih. (Anonim.Penuntun
Praktikum Farmasetika I.2011)
Dari beberapa
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sediaan injeksi adalah
sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disusupensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara
perenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan kedalam atau
melalui kulit atau selaput lendir.
Adapun
Penggolongan Obat Sediaan steril untuk sedian perenteral digolongkan menjadi
lima jenis yang berbeda yaitu :
1. Obat
larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama injeksi,
contohnya adalah injeksi insulin.
2. Sediaan
padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer atau
bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang
memenuhi persyaratan injeksi. Sediaan ini dapat membedakannya dari nama
bentuknya yaitu steril, contohnya Ampicilin Sodium steril.
3. Sediaan
seperti tertera pada no 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya.yaitu untuk
injeksi, contohnya Methicillin Sodium untuk injeksi.
4. Sediaan
berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkansacara intravena atau di dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya yaitu susupensi steril. Contoh Cortisao Suspensi steril.
5. Sediaan
padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi
semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan pembawanya yang
sesuai. Dan dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril untuk
suspensi. Contohnya Ampicilin steril untuk suspensi.
Adapun aspek yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
Injeksi
1. Bahan
aktif
Data zat aktif
yang diperlukan (Preformulasi)
a. Kelarutan
Terutama
data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena bentuk
larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan steril. Data kelarutan ini
diperlukan untuk menentukan bentuk sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk
sediaan larutan dalam air, zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam
pembawa minyak. Sedangkan zat yang tidak larut dalam kedua pembawa tersebut
dibuat sediaan suspensi. Jika zat aktif tidak larut dalam air ada
beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum memutuskan untuk membuat sediaan
suspensi atau larutan minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif,
melakukan reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya.
b. pH
stabilita
pH stabilita
adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal, sehingga diharapkan
kerja farmakologinya optimal. pH stabilita dicapai dengan menambahkan asam
encer, basa lemah atau dapar.
c. Stabilitas
zat aktif
Data ini
membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa, metoda sterilisasi
atau cara pembuatan. Beberapa factor yang mempengaruhi penguraian
zat aktif adalah:
1) Oksigen
(Oksidasi) Pada kasus ini, setelah air dididihkan makaperlu dialiri gas
nitrogen dan ditambahkan antioksidan.
2) Air
(Hidrolisis) Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif :
3) Dibuat
pH stabilitanya dengan penambahan asam/basa atau buffer
4) Memilih
jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran
pelarut air-gliserin-propilenglikol atau pelarut
campur lainnya.
5) Dibuat
dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan.
6) Suhu
Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi tahan panas,
seperti filtrasi.
7) Cahaya Pengaruh
cahaya matahari dihindari dengan penggunaan wadah berwarna cokelat.
8) Tak
tersatukannya (homogenitas) zat aktif ,
9) Baik
ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologi.
d. Dosis
Data
ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian. Rute pemberian yang
akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi, dalam hal: Volume maksimal
sediaan yang dapat diberikan pada rute tersebut (Lihat datanya pada bagian
rute pemberian).
2. Pelarut
Pemilihan
pelarut disesuaikan dengan rute pemberian. Isotonisitas dari sediaan juga
dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada larutan intravena isotonisitas menjadi
kurang penting selama pemberian dilakukan dengan perlahan untuk memberikan
waktu pengenceran dan ’adjust’ oleh darah. Injeksi intraspinal mutlak
harus isotonis.
3. Bahan
tambahan
a. Antioksidan
: Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit, metasulfit dan sulfit adalah
yang paling umum digunakan sebagai antioksidan. Selain itu digunakan :Asam
askorbat, Sistein, Monotiogliseril, Tokoferol.
b. Bahan
antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol, Klorobutanol,
Metakreosol, Timerosol, Butil p-hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat,
Propil p-hidroksibenzoat, Fenol.
c. Buffer
: Asetat, Sitrat, Fosfat.
d. Bahan
pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
e. Gas
inert : Nitrogen dan Argon.
f. Bahan
penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin, Polietilen glikol.
g. Propilen
glikol, Lecithin
h. Surfaktan
: Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
i. Bahan
pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
j. Bahan
pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum manusia.
k. Bahan
penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
4. Pembawa
Bahan pembawa
injeksi dapat berupa air maupun non air.Sebagian besar produk parenteral
menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan
jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai
konstanta dielektrik tinggi sehingga lebih mudah untuk melarutkan elektrolit
yang terionisasi dan ikatan hydrogen yang terjadi akan memfasilitasi
pelarutan dari alkohol, aldehid, keton, dan amin.
Syarat
air untuk injeksi menurut USP :
a. Harus
dibuat segar dan bebas pirogen.
b. Tidak
mengndung lebih dari 10 ppm dari total zat padat.
c. pH
antara 5-7
d. Tidak
mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium,
karbondioksida, dan kandungan logam berat serta material organik (tanin,
lignin), partikel berada pada batas yang diperbolehkan.
Contoh Pembawa Air:
a. Air
Pro Injeksi
Aqua
bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi,
Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3.
Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen. Aqua steril
Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara
yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya
Cara
pembuatan : didihkan air selama 30 menit dihitung dari setelah air mendidih di
atas api lalu didinginkan. Cara : Aqua p.i + karbon aktif 0,1% dari
volume, dipanaskan 60-70oC selama 15 menit.Tidak boleh menggunakan Aqua DM
karena ada zat-zat organik yang tidak bermuatan dapat lolos, ditanggulangi
dengan filtrasi karbon adsorben dan filtrasi bakteri.
b. Air
Pro Injeksi Bebas CO2
CO2
mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organic seperti barbiturate
dan sulfonamide kembali membentuk asam lemahnya yang mengendap.
Cara
pembuatan : Mendidihkan air p.i selama 20-30 menit lalu dialiri
gas nitrogen sambil didinginkan. (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)
c. Air
Pro Injeksi bebas O2
Dibuat
dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit dan pada saat pendinginannya
dialiri gas nitrogen. Dipakai untuk melarutkan zat aktif yang mudah
teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin, klorpromazin, ergometrin,
ergotamine, metilergotamin, proklorperazin, promazin, promesatin HCl,
sulfamidin, turbokurarin.
Pembawa Non Air
Pembawa non air
digunakan jika:
a. Zat
aktif tidak larut dalam air
b. Zat
aktif terurai dalam air
c. Diinginkan
kerja depo dalam sediaan
Syarat umum pembawa non air .
a. Tidak
toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sensitisasi
b. Dapat
tersatukan dengan zat aktif
c. Inert
secara farmakologi
d. Stabil
dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa digunakan
e. Viskositasnya
harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikan dengan muda
f. Harus
tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
g. Mempunyai
titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas
h. Dapat
bercampur dengan air atau cairan tubuh
A. Rute
Pemberian Injeksi
Rute-rute Injeksi terbagi atas 2,
yakni
1. Parenteral
Volume Kecil
a. Intradermal
Istilah
intradermal (ID) berasal dari kata "intra" yang berarti lipis dan
"dermis" yang berarti sensitif, lapisan pembuluh darah dalam kulit.
Ketika sisi anatominya mempunyai derajat pembuluh darah tinggi, pembuluh darah
betul-betul kecil. Makanya penyerapan dari injeksi disini lambat dan dibatasi
dengan efek sistemik yang dapat dibandingkan karena absorpsinya terbatas, maka
penggunaannya biasa untuk aksi lokal dalam kulit untuk obat yang sensitif atau
untuk menentukan sensitivitas terhadap mikroorganisme.
b. Intramuskular
Istilah
intramuskular (IM) digunakan untuk injeksi ke dalam obat. Rute intramuskular
menyiapkan kecepatan aksi onset sedikit lebih normal daripada rute intravena,
tetapi lebih besar daripada rute subkutan.
c. Intravena
Istilah
intravena (IV) berarti injeksi ke dalam vena. Ketika tidak ada absorpsi, puncak
konsentrasi dalam darah terjadi dengan segera, dan efek yang diinginkan dari
obat diperoleh hampir sekejap.
d. Subkutan
Subkutan
(SC) atau injeksi hipodermik diberikan di bawah kulit. Parenteral diberikan
dengan rute ini mempunyai perbandingan aksi onset lambat dengan absorpsi
sedikit daripada yang diberikan dengan IV atau IM.
e. Rute
intra-arterial
Disuntikkan
langsung ke dalam arteri, digunakan untuk rute intravena ketika aksi segera
diinginkan dalam daerah perifer tubuh.
f. Intrakardial
Disuntikkan
langsung ke dalam jantung, digunakan ketika kehidupan terancam dalam keadaan
darurat seperti gagal jantung.
g. Intraserebral
Injeksi
ke dalam serebrum, digunakan khusus untuk aksi lokal sebagaimana penggunaan
fenol dalam pengobatan trigeminal neuroligia.
h. Intraspinal
Injeksi
ke dalam kanal spinal menghasilkan konsentrasi tinggi dari obat dalam daerah
lokal. Untuk pengobatan penyakit neoplastik seperti leukemia.
i. Intraperitoneal
dan intrapleural
Merupakan
rute yang digunakan untuk pemberian berupa vaksin rabies. Rute ini juga
digunakan untuk pemberian larutan dialisis ginjal.
j. Intra-artikular
Injeksi
yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat antiinflamasi secara
langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.
k. Intrasisternal
dan peridual
Injeksi
ke dalam sisterna intracranial dan durameter pada urat spinal. Keduanya
merupakan cara yang sulit dilakukan, dengan keadaan kritis untuk injeksi.
l. Intrakutan
(i.c).
Injeksi
yang dimasukkan secara langsung ke dalam epidermis di bawah stratum corneum.
Rute ini digunakan untuk memberi volume kecil (0,1-0,5 ml) bahan-bahan
diagnostik atau vaksin.
m. Intratekal
Larutan
yang digunakan untuk menginduksi spinal atau anestesi lumbar oleh larutan
injeksi ke dalam ruang subarachnoid. Cairan serebrospinal biasanya diam pada
mulanya untuk mencegah peningkatan volume cairan dan pengaruh tekanan dalam
serabut saraf spinal. Volume 1-2 ml biasa digunakan. Berat jenis dari larutan
dapat diatur untuk membuat anestesi untuk bergerak atau turun dalam kanal
spinal, sesuai keadaan tubuh pasien.
2. Parenteral
Volume Besar
Untuk pemberian
larutan volume besar, hanya rute intravena dan subkutan yang secara normal
digunakan.
a. Intravena
Keuntungan rute ini adalah
1) Jenis-jenis
cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan
IV daripada melalui SC
2) Cairan
volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
3) Efek
sistemik dapat segera dicapai
4) Level
darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
5) kebangkitan
secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan menggunakan
dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi :
1) Gangguan
kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem
sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar;
2) Perkembangan
potensial trombophlebitis;
3) Kemungkinan
infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi septic
4) Pembatasan
cairan berair.
b. Subkutan
Penyuntikan
subkutan (hipodermolisis) menyiapkan sebuah alternatif ketika rute intravena
tidak dapat digunakan. Cairan volume besar secara relatif dapat digunakan
tetapi injeksi harus diberikan secara lambat. Dibandingkan dengan rute
intravena, absorpsinya lebih lambat, lebih nyeri dan tidak menyenangkan, jenis
cairan yang digunakan lebih kecil (biasanya dibatasi untuk larutan isotonis)
dan lebih terbatas zat tambahannya.
B. Keuntungan
dan Kerugian bentuk sediaan injeksi
Adapun
beberapa keuntungan dari bentuk sediaan injeksi ini, yakni
1. Respon
fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi
pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shock.
2. Terapi
parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang
dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
3. Obat-obat
untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan
secara injeksi.
4. Bila
memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena
pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa
kasus, pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
5. Penggunaan
parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan seperti
pada gigi dan anestesi.
6. Dalam
kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk parenteral tersedia,
termasuk injeksi steroid periode panjang secara intra-artikular dan penggunaan
penisilin periode panjang secara i.m.
7. Terapi
parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada keseimbangan cairan dan
elektrolit.
8. Bila
makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat
dipenuhi melalui rute parenteral.
9. Aksi
obat biasanya lebih cepat.
10. Seluruh
dosis obat digunakan.
11. Beberapa
obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak aktif ketika diberikan
secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.
12. Beberapa
obat mengiritasi ketika diberikan secara oral, tetapi dapat ditoleransi ketika
diberikan secara intravena, misalnya larutan kuat dektrosa.
13. Jika
pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena dapat menyelamatkan
hidupnya.
Namun, dibalik keuntungan bentuk sediaan ini,
adapula kerugiannya yakni Injeksi
1. Bentuk
sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lainPada pemberian parenteral
dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari beberapa
rasa sakit tidak dapat dihindari
2. Obat
yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan efek
fisiologisnya.
3. Yang
terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan, bentuk sediaan parenteral lebih
mahal dibandingkan metode rute yang lain.
4. Beberapa
rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila
sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
5. Dalam
beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis.
6. Sekali
digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika pasien
hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan, efeknya
sulit untuk dikembalikan lagi.
7. Pemberian
beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab udara atau
mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi
phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.
C. Pengertian
Ampul dan Vial
Bentuk
Ampul
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas,
yang memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya
adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah
takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakainannya
untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).
Sediaan suntik dibuat secara steril
karena sediaan ini diberikan secara parenteral. Istilah steril adalah keadaan
bebas dari mikroorganisme baik bentuk vegetatif, nonvegetatif, pathogen maupun
nonpatogen. Sedangkan parenteral menunjukkan pemberian dengan cara disuntikkan.
Produk parenteral dibuat mengikuti prosedur steril mulai dari pemilihan pelarut
hingga pengemasan. Bahan pengemas yang biasa digunakan sebagai sediaan steril
yaitu gelas, plastik, elastik (karet), metal. Pengemasan sediaan suntik harus
mengikuti prosedur aseptis dan steril karena pengemas ini langsung berinteraksi
dengan sediaan yang dibuat, termasuk dalam hal ini wadah. Wadah merupakan
bagian yang menampung dan melindungi bahan yang telah dibuat (ansel,1989).
Wadah obat suntik (termasuk tutupnya)
harus tidak berinteraksi dengan sediaan, baik secara fisik maupun kimia karena
akan mengubah kekuatan dan efektifitasnya. Bila wadah dibuat dari gelas, maka
gelas harus jernih dan tidak berwarna atau berwarna kekuningan, untuk
memungkinkan pemeriksaan isinya. Jenis gelas yang sesuai dan dipilih untuk tiap
sediaan parenteral biasanya dinyatakan dalam masing-masing monograf. Obat
suntik ditempatkan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis berganda (Ansel,
1989).
Wadah dosis tunggal biasanya disebut
ampul, tertutup rapat dengan melebur wadah gelas dalam kondisi aseptis. Wadah
gelas dibuat mempunyai leher agar dapat dengan mudah dipisahkan dari bagian
badan wadah tanpa terjadi serpihan-serpihan gelas. Sesudah dibuka, isi ampul
dapat dihisap kedalam alat suntik dengan jarum hipodermik. Sekali dibuka, ampul
tidak dapat ditutup dan digunakan lagi untuk waktu kemudian, karena sterilitas
isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Beberapa produk yang dapat
disuntikkan dikemas dalam alat suntik yang diisi sebelumnya dengan atau tanpa
cara pemberian khusus. Gelas yang digunakan dalam mengemas sediaan farmasi
digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu :
|
Gelas
|
Komposisi
|
Sifat-sifat
|
Aplikasi
|
|
Tipe
1
|
Borosilikat
|
Resistensi
terhadap hidrolisis tinggi,eksporasi termal rendah
|
Sediaan
parenteral asidik dan netral, bisa juga untuk sediaan alkali yang sama
|
|
Tipe
II
|
Kaca
soda kapur (diperlukan dealkalisasi)
|
Resistensi
hidrolitik relatif tinggi
|
Sediaan
parenteral asidik dan netral, bisa juga untuk sediaan alkalin yang sesuai
|
|
Tipe
III
|
Kaca
soda lapur (tidak mengalami perlakuan
|
Sama
dengan tipe II, tapi dengan pelepasan oksida
|
Cairan
anhidrat dan produk kurang, sediaan parenteral jika sesuai
|
|
Tipe
NP
|
Kaca
soda kapur (penggunaan umum)
|
Resistensi
hidrolitik sangat rendah
|
Hanya
digunakan untuksediaaan non parenteral (oral, tipikal, dsb)
|
§ Tipe 1, 2 dan 3 dimaksudkan untuk
produk parenteral
§ Dan tipe NP dimaksudkan untuk produk
non-parenteral dan tipe itu dimaksudkan untuk penggunaan oral dan topical
Proses
pengemasan Ampul
Proses pengemasan ampuldimulai dari
a. Pembersihan
Pada
umumnya, ampul kosong yang dipasarkan dalam keadaan terbuka memiliki leher yang
lebar untuk memudahkan pembersihan dan pengisian. Dengan cara pengisian ampul
berulang kali dengan cairan pencuci dan akhirnya dikosongkan dapat diperoleh
ampul yang bersih dan menjamin bahwa seluruh partikel pengotor dan serpihan
gelas telah dihilangkan.
Dalam
industri kecil, digunakan beberapa alat pencuci dimana ampul-ampul dipasang
pada kanula dan air ditekan mengalir kedalam ampul melaui kanula bermantel.
Suplai air dihentikan digantikan dengan aliran udara bertekanan yang menekan
keluar sisa-sisa air sampai ampul mengering.
Dalam
industri besar, tersedia mesin-mesin pembersih ampul semiotomatis dan otomatis.
Pada mesin pencuci otomatis pembersihan dilakuakan dengan cairan pencuci panas
bersuhu 80C bertekanan tinggi (0,4 Mpa, 4 at) dimana serpihan gelas yang
melekat erat pada dinding-dinding dan umumnya baru dapat dihilangkan pada saat sterilisasi melalui kerja panas, juga
turut tercuci. Setelah dilakukan penyemprotan dengan cairan pencuci umumnya
masih diikuti 2xpencucian dengan air pada tekanan yang sama dan diakhiri dengan
air suling (0,05 Mpa, 0,5 at) (voight,1995).
b. Pengisian
Pengisian
ampul dengan larutan obat dilakuakn pada sebuah alat khusus untuk pabrik kecil
atau menengah pengisian dilakukan dengan alat torak pengisi yang bekerja secara
manual atau elektris. Melalui gerak lengannya larutan yangakan diisikan dihisap
oleh sebuah torak kedalam penyemprot penakar dan melalui kebalikan gerak lengan
dilakukan pengisiannya (voight,1995).
c. Penutupan
Penutupan
ampul dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama cara peleburan, dimana semburan
nyala api diarahkan pada leher ampul yang terbuka dan ampul ditutup dengan
membakar disatu lokasi lehernya sambil diputar kontinyu. Kedua cara tarikan,
dimana seluruh alat penutup ampul otomat yang digunakan dalam industri bekerja
menurut prinsip ini.
Bentuk vial
Vial adalah salah satu wadah dari bentuk sediaan steril yang umumnya
digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5-100 ml. Vial dapat berupa takaran tunggal atau ganda. Digunakan
untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak
5 mL atau lebih besar. Bila diperdagangan, botol ini ditutup dengan sejenis
logam yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum injeksi untuk menghisap
cairan injeksi. (R. Voight hal 464).
Hal yang perlu diperhatikan untuk sediaan injeksi dalam wadah vial (takaran
ganda):
1.
Perlu pengawet
karena digunakan berulang kali sehingga kemungkinan adanya kontak dengan
lingkungan luar yang ada mikroorganismenya
2.
Tidak perlu isotonis, kecuali untuk subkutan dan intravena
harus dihitung isotonis (0,6% – 0,2%) (FI IV hal. 13)
3.
Perlu dapar sesuai pH stabilitasnya
4.
Zat pengawet (FI IV hal 17) keculai dinyatakan lain, adalah
zat pengawet yang cocok yang dapat ditambahkan ke dalam injeksi yang diisikan
dalam wadah ganda/injeksi yang dibuat secara aseptik, dan untuk zat yang
mepunyai bakterisida tidak perlu ditambahkan pengawet.
D. Evaluasi
Evaluasi
dilakukan setelah sediaan disterilkan dan sebelum wadah dipasang etiket dan
dikemas
1. Evaluasi
Fisika
a. Penetapan
pH . (FI ed. IV, hal 1039-1040)
b. Bahan
Partikulat dalam Injeksi <751> ( FI> ed IV, hal. 981-984).
c. Penetapan
Volume Injeksi Dlam Wadah <1131> (FI ed. IV Hal 1044).
d. Uji
Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume (FI ed III hal. 19)
e. Uji
Kejernihan Larutan (FI ED. IV, hal 998)
f. Uji
Kebocoran (Dry Bath Test dan Double Vacuum Pull).
Pada
pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata tetapi untuk
produksi skala besar hal ini tidak mungkin dikerjakan.Wadah-wadah takaran
tunggal yang masih panas setelah selesai disterilkan dimasukkan kedalam larutan
biru metilen 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang bocor maka larutan biru metilen
akan dimasukkan kedalamnya karena perbedaan tekanan di luar dan di dalam wadah
tersebut. Cara ini tidak dapat dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah
berwarna. Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada
kebocoran maka larutan ini akan keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah yang tidak
dapat disterilkan, kebocorannya harus diperiksa dengan memasukkan wadah-wadah
tersebut ke dalam eksikator yang divakumkan. Jika ada kebocoran akan diserap
keluar.
g. Uji
Kejernihan dan Warna
Umumnya
setiap larutan suntik harus jernih dan bebas dari kotoran-kotoran. Uji ini
sangat sulit dipenuhi bila dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti karena
hampir tidak ada larutan jernih. Oleh sebab itu untuk uji ini kriterianya cukup
jika dilihat dengan mata biasa saja yaitu menyinari wadah dari samping dengan
latar belakang berwarna hitam dan putih. Latar belakang warna hitam dipakai
untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna muda, sedangkan latar belakang putih
untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna gelap.
2. Evaluasi
Biologi
1. Uji
Efektivitas Pengawet Antimikroba <61> (FI ed IV, HAL 854-855)
2. Uji
Sterilitas <71> (FI ed. IV, HAL 855-863)
3. Uji
Endotoksin Bakteri <201> (FI ed. IV, HAL 905-907)
4. Uji
Pirogen <231> (FI ed. IV, HAL. 908-909)
5. Uji
Kandungan Zat Antimikroba <441> (FI ed. IV, HAL. 939-942)
3. Evaluasi
Kimia
a. Uji
Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)
b. Penetapan
Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi. Jakarta : UI press
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep
Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan
Voight Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi
Industri. Jakarta : UI Press
Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium
Nasional edisi II. Jakarta
Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta :
Soeroengan
Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta
: UGM Pres
Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight
Edition. The Parmaceutical Press, London. 1982.
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT
Infomaster.
Departement of pharmaceutical Science.
1982. Martindale the Extra Pharmacoeia 28th edition. London: The
Pharmaceutical Press.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. ISFI.
2006. ISO Indonesia, volume IV. Jakarta: PT. Anem Kosong Anem (AKA).
bisa na ku dapat-___-
BalasHapusGood
BalasHapus